Rabu, 28 September 2011

Mengenal Serat Centhini

Serat CenthiniSerat Centhini atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga , merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.
Penggubahan
Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yaitu yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi. Berarti masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa).
Yang dijadikan sumber dari Serat Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala jati tunggal swara raja, yang menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa, berarti masih di zamannya Sunan Pakubuwana III). Tidak diketahui siapa yang mengarang kitab Jatiswara. Bila dianggap pengarangnya adalah R.Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan karena terdapat banyak selisihnya dengan kitab Rama atau Cemporet.
Tujuan dan pelaku penggubahan
Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini ini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu, yang termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama. Pengerjaan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom, dan yang mendapatkan tugas membantu mengerjakannya adalah tiga orang pujangga istana, yaitu:
  1. Raden Ngabehi Ranggasutrasna
  2. Raden Ngabehi Yasadipura II (sebelumnya bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita I)
  3. Raden Ngabehi Sastradipura
Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur, Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama Islam.
Pengerjaan isi
R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota, bersangkala Paksa suci sabda ji.
Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura (sekarang juga bernama Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.
Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebab Pangeran Adipati Anom mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa pengetahuan tentang masalah senggama kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.
Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas dan duabelas) kepada ketiga pujangga istana tadi. Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 725 lagu.
Ringkasan isi
Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.
Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan “perjalanan spiritual” ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami “pendewasaan spiritual”, karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.
Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.
Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.
Lingkup pengaruh
Karya ini boleh dikatakan sebagai ensiklopedi mengenai “dunia dalam” masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya.
Menurut Ulil Abshar Abdalla, terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada syariah sebagaimana yang dibawakan oleh pesantren dan Walisongo. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang “ortodoks” bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para pengguh ini untuk mempertentangkannya dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara “sinkretik” seolah antara alam monoteisme-Islam dan paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme” dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Dr. Badri Yatim MA menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.
Serat Centhini terus menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa Ranggawarsita sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranya adalah versi keraton Mangkunegaran tersebut.
Kepustakaan
Sunan Pakubuwana VII, yang bertahta dari tahun 1757 sampai 1786, berkenan menghadiahkan Suluk Tambanglaras tersebut kepada pemerintah Belanda. Akan tetapi yang diberikan hanya mengambil dari jilid lima sampai sembilan, dengan menambah kata pengantar baru yang dikerjakan oleh R.Ng. Ranggawarsita III. Kitab tersebut bersangkala Tata resi amulang jalma, yang berarti 1775, dan dijadikan delapan jilid, diberi judul Serat Centhini, yang terdiri dari 280 lagu.
Penerbit PN Balai Pustaka pada tahun 1931 pernah pula menerbitkan ringkasan Serat Centhini, yang dibuat oleh R.M.A. Sumahatmaka, berdasarkan naskah milik Reksapustaka istana Mangkunegaran. Ringkasan tersebut telah dialihaksarakan dan diterjemahkan secara bebas dalam bentuk cerita, yang diharapkan pembuatnya dapat mudah dipahami oleh masyarakat yang lebih luas.
Gubahan kontemporer
Penulisan kembali Serat Centhini dalam bentuk prosa liris dilakukan oleh Elizabeth Inandiak. Ia menerjemahkan syair demi syair dan menuliskannya kembali dalam bahasa Prancis. Elisabeth menyusunnya kembali dalam prosa yang puitis untuk mempertahankan sifat tutur suluk yang aslinya berjudul Serat Tambangraras. Hasil tafsirnya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi empat episode: Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, Minggatnya Cebolang, Ia yang Memikul Raganya, dan Nafsu yang Terakhir .
Sunardian Wirodono mengubah Serat Centhini menjadi trilogi novel dalam bahasa Indonesia (Centhini, 40 Malam Mengintip Sang Pengantin; Centhini, Perjalanan Cinta; dan Cebolang, Petualang Jalang)

Sumber: seratcenthini.wordpress.com

Ringkasan Serat Centhini – Penutup

Serat Centhini secara keseluruhan terdiri dari 722 pupuh, 31.837 tembang (bait), 3.467 halaman pada 12 jilid buku ukuran
15cm X 21cm. Tembang yang dipergunakan adalah: Asmaradana 64 kali – 3.117 tembang, Balabak 16 kali – 676 tembang, Dhandhanggula (Sarkara) 73 kali – 5.207 tembang, Dudukwuluh (Megatruh) 52 kali – 1.929 tembang, Durma 17 kali – 483 tembang, Gambuh 55 kali – 975 tembang, Girisa 30 kali – 897 tembang, Jurudemung 42 kali – 1.168 tembang, Kinanthi 65 kali – 3.505 tembang, Lonthang 9 kali – 470 tembang, Maskumambang 42 kali – 1.704 tembang, Mijil 46 kali – 2.563 tembang, Pangkur 40 kali – 1.469 tembang, Pucung 58 kali – 2.388 tembang, Salasir 12 kali – 522 tembang, Sinom 64 kali – 2.675 tembang, Wirangrong 37 kali – 1.089 tembang. Serat Centhini mungkin karya sastra terpanjang yang pernah ditulis oleh umat manusia diseluruh dunia.
Secara keseluruhan, tidak ada kata lain bahwa memang Serat Centhini adalah suatu karya sastra Jawa yang luarbiasa, baik dari segi tatabahasa tembang Jawa yang indah maupun dari segi isinya yang terdiri dari rangkuman Budaya Jawa yang hidup pada abad ke-18, ilmu agama Islam maupun pengetahuan spirituil khas Jawa lainnya. Bisa merupakan sumber bahasan dari berbagai disiplin ilmu yang tidak akan ada habisnya.
Serat Centhini dibuka pada Jilid-1, Pupuh 1, Tembang 1 (Sinom): Sri narpadmaja sudigbya, talatahing tanah Jawi, Surakarta Adiningrat, agnya ring kang wadu carik, Sutrasna kang kinanthi, mangun reh cariteng dangu, sanggyaning kawruh Jawa, ingimpun tinrap kakawin, mrih kemba karaya dhangan kang miyarsa.
Artinya: Sang putra mahkota, berwilayah tanah Jawa, Surakarta Adiningrat, memerintahkan jurutulis, Sutrana yang dipercaya, mengumpulkan cerita lama, keseluruhan pengetahuan Jawa, digubah dalam bentuk tembang, agar mengenakkan dan menyenangkan yang mendengar.
Sedangkan penutupannya pada Jilid-12, Pupuh 708, Tembang ke 672 (Dandanggula): Kadarpaning panggalih sang aji, kang jinumput wijanganing kata, tinaliti saturute, tetelane tinutur, titi tatas tataning gati, sakwehnung kang tinata, wus samya ingimpun, ala ayuning pakaryan, kawruh miwah ngelmuning kang lair bathin, winedhar mring para muda.
Artinya: Didorong oleh keinginan Sang Raja, yang diambil makna kata-katanya, diteliti urutannya, nasehat yang disampaikan, teliti tuntas teratur maksud tujuannya, semua sudah diceritakan, semua sudah dikumpulkan, baik buruknya perbuatan, pengetahuan maupun ilmu lahir bathin, diuraikan buat para kawula muda.
Pupuh 722, Tembang ke 55 (Asmaradana): Titi tamat ingkang tulis, telas ingkang cinarita, Seh Mongraga lalakone, kongsi amadeg narendra, kendhang tekeng pralaya, kran Sunan Tegalarum, pisah sumarenira.
Artinya: Sudah tamat tulisannya, selesai ceritanya, riwayat Seh Amongraga, sampai menjadi raja, terusir meninggalnya, diberi nama Sunan Tegalarum, terpisah makamnya.
Dari tembang pembukaan dan penutup, maksud dan tujuan penulisan Serat Centhini adalah untuk melestarikan Budaya atau Pengetahuan Jawa agar bisa jadi pelajaran buat generasi muda. Tapi sungguh disayangkan generasi muda saat ini tidak banyak yang tertarik untuk membaca karya sastra adiluhung ini, justru para peneliti asing yang tertarik mempelajari Serat Centhini.
Serat Centhini juga mengandung hal-hal yang kontroversi dibandingkan nilai-nilai Budaya Jawa (Indonesia) yang berlaku saat ini, yaitu:
1. Kandungan cerita tentang seksualitas: Walaupun Serat Centhini bercerita tentang perjalanan para santri, dalam mengungkap masalah seksualitas (bisa dikatakan beraliran “naturalis”) secara detil dan blak-blakan. Termasuk perilaku seks yang menyimpang yang memang hidup dalam masyarakat pada saat itu maupun ilmu yang berkaitan dengan seksualitas.
2. Persaingan antara Budaya Kraton dan Budaya Pesantren: Setelah Sunan Giri dijatuhkan oleh Sultan Agung, budaya kraton dan budaya pesantren mengalami perkembangan yang terpisah.
Ulama Islam saat itu ada yang bersikap akomodatif terhadap kerajaan dengan menjadi ulama dikalangan kraton. Ada juga yang mengambil sikap independen atau tidak mau tunduk dengan aturan kerajaan dengan mengembangkan budaya pesantren yang tertutup pada kalangan mereka sendiri tapi tidak menunjukkan perlawanan terhadap kerajaan.
Serat Centini adalah cerita tentang para santri dari sudut pandang kerajaan (kraton). Seh Amongraga dan istri, setelah susah payah menimba ilmu agama Islam dan mencapai kesempurnaannya, pada akhir cerita tertarik untuk menjadi raja.
Seolah-olah ingin mengatakan bahwa kekuasaan sebagai raja lebih bernilai dibandingkan dengan kesempurnaan ilmu agama. Kalau cerita ini hanya karangan maka makna sebenarnya dari penulisan Serat Centhin adalah ingin menegaskan dominasi kerajaan terhadap para ulama agama Islam. Akhirnya para ulamapun pada titik kesempurnaan agama masih tertarik pada kekuasaan untuk menjadi raja.
Refleksi ini masih tergambar pada masyarakat Indonesia saat ini yaitu sikap ketertarikan para ulama (atau partai berhaluan Islam) untuk ikut partisipasi dalam kekuasaan negara.
3. Penekanan pada ilmu tasauf: Penekanan ajaran agama Islam di Serat Centhini adalah limu tasauf yaitu suatu sikap berserah diri secara total kepada kehendak Allah SWT melalui tahapan pendalaman ilmu syariat, tarekat, hakekat, makrifat. Ini adalah ajaran agama Islam di Jawa berdasarkan warisan ajaran walisanga. Pengetahuan spriritual Jawa seperti Sastra Jendra Hadiningrat, sudah ada sejak sebelum kedatangan agama Islam. Ilmu tasauf dalam agama Islam menemukan kemiripan dengan pengetahuan sprituil Jawa yang sudah ada, oleh karena itu keduanya bertemu dalam sinkretisasi agama Islam di Jawa.
Hal ini adalah kontroversi dengan apa yang umumnya diajarkan oleh ulama agama Islam di Indonesia saat ini yang sangat fokus pada ajaran syariat (bisa terhenti pada rutinitas ceremonial) yang malahan berakibat merosotnya nilai-nilai moral masyarakat pada umumnya

Sumber: seratcenthini.wordpress.com

Ringkasan Serat Centhini Jilid-12

Serat Centhini Jilid-12 berisi 31 pupuh dari pupuh 691 s/d 722, isinya: perjalanan Jayengresmi dan Jayengraga pulang ke Wanamerta, meninggalnya Ki Bayi Panurto dan istrinya, reinkarnasi Seh Amongraga beserta istrinya agar bisa menurunkan raja.
Perjalanan Jayengresmi dan Jayengraga: Seh Mangunarsa, Ki Agungrimang dan Niken Rangcangkapti ikut serta; Menginap di Ngardipala di tempat Seh Malangkarsa, diadakan acara terbangan, Nyi Pelangi istri Seh Modang jatuh hati kepada Jayengrana hal ini diperhatikan oleh istri Jayengraga – Ni Rarasati, Seh Amongraga beserta istrinya dan Seh Ragaresmi juga hadir dari alam gaib dalam acara terbangan; Seh Malangkarsa, Seh Modang dan Nyi Pelangi ikut dalam rombongan dan Ki Basariman selaku penunjuk jalan; Bermalam di desa Gunungsari ditempat Ki Cariksutra dan Ki Carikmuda, Ki Cariksutra dan istrinya Nyi Wilapa ikut serta dengan rombongan; Lewat hutan Jembul yang angker, banyak melihat keberadaan machluk halus selama di hutan Jembul; Ni Pelangi masih mencoba menarik perhatian Jayengrana, tiba-tiba mendengar banteng menarik rumput, terkejut lalu menubruk dan merangkul Jayengraga, Nyi Pelangi jatuh kerasukan, dari kemaluannya mengeluarkan darah, ditolong oleh Seh Mangunarsa, setelah siuman bercerita bahwa dirinya diperkosa oleh orang yang tinggi besar, dinasehati agar tidak berangan-angan yang kurang baik;
Bermalam di desa Bustam ditempat Ki Arsengbudi yang kemudian juga ikut serta dengan rombongan; Rombongan sudah berjumlah 20 orang, menyebrang sungai Lumut, menginap di desa Ardimuncar tempat Seh Adimuncar dan istrinya Nyi Purnaningsih, adiknya Seh Arundarsa yang bergabung juga ikut serta dengan rombongan; Menginap di tengah hutan Kakas, ada 20 orang yang datang memaksa ikut menginap dengan rombongan membawa buah-buahan dan ubi-ubian yang belakangan ketahuan ternyata harimau siluman; Keluar hutan lewat desa Kepleng, masuk hutan Taruman, bukit Manik dan hutan Jenggalamanik, siang hari sampai hutan Saba wilayah Wirasaba; paginya sudah sampai wilayah Wanamerta ketemu Ki Nuripin di Pagutan menginap semalam.
Di Wanamarta: Ki Bayi Panurta baru saja sembuh dari sakitya selama 4,5 bulan; Kedatangan Ki Nuripin dan Ki Monthel yang memberitahukan bahwa putra-putranya dan rombongan sebentar lagi akan sampai; Karena gembiranya menjadikan sakitnya sembuh sama sekali; Ki Bayi Panurto dan istri sangat senang melihat anaknya Jayengrresmi dan Jayengraga beserta masing-masing istrinya diiringi banyak teman-teman dari Ki Bayi Panurta datang; Pada hari ketiga, Seh Amongraga, istrinya dan Seh Ragaresmi datang dari alam kasampurnaan ikut membicarakan berbagai ilmu kasampurnaan; Pada hari keempat para tamu pulang yang tinggal hanya Jayengresmi dan Jayengraga beserta masing-masing istrinya.
Serat Centhini Jilid XII selesai sampai disini, ada tambahan berupa penutup yaitu yang dinamakan Serat Centhini Jalalen, kematian Ki Bayi Panurta dan keinginan Seh Amongraga dan istrinya untuk menurunkan raja.
Serat Centhini Jalalen: Ada seorang ahli tapa dari negara Campa (note: mungkin Kerajaan Campa yang ada di daerah Vietnam/Kamboja) namanya Ki Jatiswara menjelajah tanah Jawa mencari adiknya bernama Ki Sejati; Ia mendapat wangsit agar bertemu dengan Seh Amongraga; Bertemu dan beradu ilmu dengan Seh Amongraga tapi kalah; Pergi ke Wanacandra ketemu Seh Ragamana berbicara ilmu; Anak perempuan Seh Ragamana bernama Ken Sakati jatuh hati kepada Ki Jatiswara yang menolak secara halus; Pergi ketemu Seh Baka disuruh bertapa ditepi samudra, disuruh mengambil permata di dalam gua, setelah melalui sembilan pintu gua baru didapat permatanya; Pulang ke negeri Campa, dijalan ketemu Ki Sejati adiknya yang tidak lain adalah Seh Ragaresmi murid Seh Amomgraga; Adiknya diajak pulang ke Campa untuk merebut kembali kerajaannnya yang dikuasai raja Prakolah; Akhirnya Jatiswara jadi raja dan Ki Sejati jadi patihnya di negara Campa.
Meninggalnya Ki Bayi Panurta dan istri: Tidak berapa lama kemudian Ki Bayi Panurta jatuh sakit lagi; Seh Amograga dan istrinya sudah mengetahui bahwa saat wafatnya ayah bundanya sudah tidak lama lagi; Mereka berdua datang dan menyaksikan kedua orang tuanya Ki Bayi Panurta dan Nji Makarsih meninggal dunia pada saat hampir bersamaan; Sepeninggal Ki Bayi Panirta, Jayengrresmi dan Jayengraga menggantikan kedudukan ayahnya mengelola padepokan Wanamarta, Jayengresmi sebagai guru, Jayengraga mengatur tata-tertib desa.
Reinkranasinya Seh Amongraga dan istri: Seh Amograga dan istri berkeinginan menurunkan raja; Mereka bertemu Sultan Agung dalam pertapaannya di bukit Telamaya; Setelah berdebat demi hasratnya agar bisa menurunkan raja, Seh Amongraga dan istri diminta menjelma menjadi “gendhon” (lundi – semacam ulat) dua ekor, lalu dibawa ke istana Mataram; Sultan Agung memanggil Permaisurinya, Kanjeng Ratu Pandhansari (adik Sultan Agung) dan suaminya Pangeran Pekik (Bupati Surabaya), minta bumbung (tabung bambu), bumbu dan anglo (alat memasak dengan arang). Lundi dikeluarkan dari bumbung, diberi bumbu dan dimasak kemudian dimakan oleh mereka berempat; Permaisuri kemudian hamil dan melahirkan seorang putra, Kanjeng Ratu Pandhansari melahirkan seorang putri, pada saat dewasa keduanya dinikahkan, putra Sultan Agung setelah dewasa menjadi Sultan Amangkurat I yang kurang bijaksana yang dikalahkan oleh pemberontakan Trunojoyo yang berakhir dengan kematiannya di Tegalarum jauh dari para leluhurnya, anaknya Adipati Anom lebih bijaksana yang pada akhirnya menjadi raja dengan gelar Sunan Amangkurat II; Melalui proses reinkarnasi, Seh Amograga dan istri ikut andil menurunkan raja-raja di Mataram (Wallahu Alam).
Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-12 adalah:
Cerita/Legenda: Cerita machluk halus di hutan Jembul; Cerita tentang Ki Jatiswara; Serat Wiwaha (Arjuna Wiwaha).
Adat Istiadat: Candrasangkala beberapa Candi di Jawa; Keratabasa – makna huruf-huruf Jawa dalam nama seseorang; Dasanama – sepuluh sebutan nama-nama yang punya arti sama.
Pengetahuan Spirituil/Agama: Hidup menemukan mati, mati menemukan hidup; Isbat dan
Sifat; Kodrat dan Iradat (Wiradat); Hakekat sembah dan sukma.

Sumber: seratcenthini.wordpress.com

Ringkasan Serat Centhini Jilid-11

Serat Centhini Jilid-11 berisi 52 pupuh dari pupuh 638 s/d 690, isinya: perjalanan menuju pertemuan seluruh keluarga yang saling berpisahan di Jurang Jangkung (Wanataka).
Perjalanan Niken Tambangraras: Niken Tambangraras menolak banyak lamaran, ada yang sakit hati mengirim penjahat tapi tidak berhasil menyakitinya; Niken Tambangraras memutuskan pergi dari Wanamarta diiringi Ni Centhini; Ganti nama Ni Selabrangti, keluar masuk hutan akhirnya sampai di Wanataka padepokannya Seh Mangunarsa dan Seh Agungrimang; Setelah beberapa lama mereka saling tahu bahwa Ni Selabrangti adalah Niken Tambangraras istri Seh Amongraga dan Seh Mangunarsa adalah adik dari Seh Amongraga;
Niken Rancangkapti (istri Seh Agungrimang) sangat sedih mendengar kakaknya Seh Amongraga telah meninggal dunia dilarung di laut selatan, sehingga mendadak meninggal dunia; Pagi harinya sebelum mayat Niken Rangcangkapti dimandikan ada keajaiban dengan kedatangan Seh Amongraga; Semua terkejut dan berbakti ke Seh Amongraga yang mengatakan bahwa dia sudah hidup di alam kesempurnaan; Niken Rancangkapti dibangunkan oleh Seh Amongraga, hidup kembali seperti baru bangun tidur; Seh Amongraga memerintahkan Seh Mangunarsa untuk menikahkan Ni Centhini dengan Ki Monthel dan membuat padepokan tempat menyepi Seh Amongraga dan istrinya di Jurang Jangkung; Sewaktu-waktu mereka bisa ketemu setelah menjalankan iktikap (i’tikat – berdiam diri bertafakur memuji kebesaran Allah SWT) di Sendhang Kalampeyan.
Perjalanan Jayengresmi dan Jayengrana: Ki Bayi Panurto menyuruh Jayengresmi dan Jayengrana menyusul kakaknya Niken Tambangraras; Menginap di tempat Nyi Randa Tilarsa di desa Sindureja; Meneruskan perjalanan lewat gunung Ujungan, desa Simpar, di desa Sidapaksa ketemu orang tua bernama Kaki Tuwa; di Ngardipala ketemu Seh Malangkarsa yang mendengar bahwa Niken Tambangraras berada di Wanataka; Ki Monthel datang dari Wanataka membawa surat dari Seh Amongraga untuk Ki Bayi Panurta; Ki Monthel meneruskan perjalanan menuju Wanamarta, sedangkan Jayengresmi dan Jayengraga tinggal di Ngardisalah mendalami ilmu agama.
Perjalanan istri Jayengraesmi (Ni Turida) dan istri Jayengrana (Ni Rarasati): Ni Turada dan Ni Rarasati meninggalkan Wanamarta menyusul suaminya, mengalami banyak halangan dijalan akhirnya bisa ketemu Jayengresmi dan Jayengrana di Ngardisalah dan ikut mendalami ilmu agama bersama suaminya.
Perjalanan Ki Bayi Panurta dan istrinya: Ni Malarsih mengajak suaminya Ki Bayi Panurta menyusul anak-mantunya yang pergi semua; Ki Monthel datang membawa surat dari Seh Amongraga dari Wanataka; Ki Bayi Panurto dan istrinya menuju Wanataka ganti nama jadi Ki Arundaya dan Ni Malaresmi; Ketemu banyak teman-temannya di sepanjang perjalanan di Ngardimuncar, di gunung Bustam, lewat hutan Jembul kesasar malahan ketemu Ki Cariksutra dan Ki Carikmudha, keduanya mengantarkan ke Ngardipala lewat sendang Balara; di Ngardipala ketemu Seh Malangkarsa yang kemudian menyuruh santrinya pergi ke Ngardisalah untuk memanggil Jayengresmi dan Jayengrana; Seh Raras (Jayengresmi) dan Seh Resmi (Jayengraga) tidak mau ketemu kedua orangtuanya, nanti saja akan bertemu di Jurang Jangkung; Diiringi oleh Seh Malangkarsa, Ki Cariksutra dan Ki Carikmuda menuju Wanataka; Melewati sendhang Kalampeyan sampai di Wanataka ketemu Seh Mangunarsa, Seh Agungrimang dan istrinya Niken Rancangkapti; Seh Mangunarsa memberithu bahwa anak dan mantunya akan menemui di Jurang Jangkung; Setelah tirakat selama tiga hari, Seh Amongraga, Jayengrana, Jayengraga beserta istri-istrinya yang berada di alam kesempurnaan memperlihatkan diri dan berbakti kepada Ki Bayi Panurta dan istri; Pertemuan berikutnya di Sendang Kalampeyan mengajak juga Seh Malangkarsa dkk.; Diadakan perjamuan tapi Seh Amongraga dan istrinya tidak makan agar tetap berada di alam badan halus sedangkan Jayengresmi dan Jayengraga dan istri-istrinya-nya disuruh makan oleh Seh Amongraga agar kembali ke alam badan kasar seperti layaknya manusia biasa; Ki Bayi Panurta mengajak Jayengresmi dan Jayengraga dan istri-istrinya pulang ke Wanamerta tapi tidak mau, masih mau melanjutkan menyepi di Wanataka, berjanji pada saatnya akan pulang; Ki Malangkarsa dkk. pulang ke Ngardipala; Setelah 10 hari Ki Bayi Panurta dan istrinya pulang ke Wanamarta.
Perjalanan Seh Amongraga di alam alimut: Jayengresmi dan Jayengraga membuat padepokan di dekat Jurang Jangkung di Wanatawang dan Wanasonya; Seh Amongraga dan istrinya berkelana kemudian mencipta Kota Baja; Pulau tersebut seperti sebuah istana dihias sangat indah dan banyak terdapat emas rajabrana, sutera, maupun barang beraneka warna; Orang-orang banyak yang datang, boleh mengambil apa saja semaunya; Berita ini terdengar Ki Dathuk Ragarunting dari Bengkulu yang datang naik perahu beserta empat puluh muridnya; Setelah ketemu selain mengambil barang semaunya juga minta Niken Tambangraras juga diberikan; Setelah ditinggal istrinya, Seh Amongraga memusatkan ciptanya menghancurkan Kota Baja dan mengambil kembali Niken Tambangraras; Ki Dathuk keheranan tiba-tiba Niken Tambangraras menghilang dan perahu diterjang badai, semua santri terdampar dipantai dalam keadaan telanjang dan semua barang-barangnya hilang; Kemudian Seh Amongraga dan istrinya kembali berkelana, sampai di gua Langse di Laut Selatan, kedatangan Ki Darmengbudi; Ki Darmengbudi diminta terjun ke lautan dan merasa ketemu Seh Amongraga dan diajari ilmu kesejatian, terpental jatuh di sebuah mesjid di Palembang yang daerahnya sedang ada wabah penyakit, seketika wabah penyakit menyurut; Ada ulama bernama Ki Ragaresmi mencari kesempurnaan kematian, diajari oleh Niken Tambangraras bab kesejatian Allah SWT yang kasih dan kekuasaan tidak ada batasnya sampai pada ilmu kesempurnaan, kemudian jadi muridnya dan diajak ikut ke Wanataka.
Perjalanan Jayengresmi dan Jayengraga: Seh Amongraga menyuruh Jayengresmi, Jayengrana dan istri-istrinya pulang ke Wanamerta menemui bapak ibunya yang sedang sakit, diikuti oleh Seh Mangunarsa, Ki Agungrimang dan Niken Rangcangkapti sampai di sendang Balara ketemu Basriman pengulu di Ngardipala dan diantarkan ketemu Seh Malangkarsa yang sangat senang bisa ketemu mereka lagi.
Tidak ada Cerita/Legenda & Adat istidat.
Pengetahuan Spirituil/Agama: Iman dan Islam, mandi wajib yang dilakukan oleh wanita dan pria; ugeran ilmu sarengat, tarekat, hakekat, makrifat; tekad tama.

Sumber: seratcenthini.wordpress.com