Serat
Centhini secara keseluruhan terdiri dari 722 pupuh, 31.837 tembang (bait),
3.467 halaman pada 12 jilid buku ukuran
15cm
X 21cm. Tembang yang dipergunakan adalah: Asmaradana 64 kali – 3.117 tembang,
Balabak 16 kali – 676 tembang, Dhandhanggula (Sarkara) 73 kali – 5.207 tembang,
Dudukwuluh (Megatruh) 52 kali – 1.929 tembang, Durma 17 kali – 483 tembang,
Gambuh 55 kali – 975 tembang, Girisa 30 kali – 897 tembang, Jurudemung 42 kali
– 1.168 tembang, Kinanthi 65 kali – 3.505 tembang, Lonthang 9 kali – 470
tembang, Maskumambang 42 kali – 1.704 tembang, Mijil 46 kali – 2.563 tembang,
Pangkur 40 kali – 1.469 tembang, Pucung 58 kali – 2.388 tembang, Salasir 12
kali – 522 tembang, Sinom 64 kali – 2.675 tembang, Wirangrong 37 kali – 1.089
tembang. Serat Centhini mungkin karya sastra terpanjang yang pernah ditulis
oleh umat manusia diseluruh dunia.
Secara
keseluruhan, tidak ada kata lain bahwa memang Serat Centhini adalah suatu karya
sastra Jawa yang luarbiasa, baik dari segi tatabahasa tembang Jawa yang indah
maupun dari segi isinya yang terdiri dari rangkuman Budaya Jawa yang hidup pada
abad ke-18, ilmu agama Islam maupun pengetahuan spirituil khas Jawa lainnya.
Bisa merupakan sumber bahasan dari berbagai disiplin ilmu yang tidak akan ada
habisnya.
Serat
Centhini dibuka pada Jilid-1, Pupuh 1, Tembang 1 (Sinom): Sri narpadmaja
sudigbya, talatahing tanah Jawi, Surakarta Adiningrat, agnya ring kang wadu
carik, Sutrasna kang kinanthi, mangun reh cariteng dangu, sanggyaning kawruh
Jawa, ingimpun tinrap kakawin, mrih kemba karaya dhangan kang miyarsa.
Artinya:
Sang putra mahkota, berwilayah tanah Jawa, Surakarta Adiningrat, memerintahkan
jurutulis, Sutrana yang dipercaya, mengumpulkan cerita lama, keseluruhan
pengetahuan Jawa, digubah dalam bentuk tembang, agar mengenakkan dan
menyenangkan yang mendengar.
Sedangkan
penutupannya pada Jilid-12, Pupuh 708, Tembang ke 672 (Dandanggula):
Kadarpaning panggalih sang aji, kang jinumput wijanganing kata, tinaliti
saturute, tetelane tinutur, titi tatas tataning gati, sakwehnung kang tinata,
wus samya ingimpun, ala ayuning pakaryan, kawruh miwah ngelmuning kang lair
bathin, winedhar mring para muda.
Artinya:
Didorong oleh keinginan Sang Raja, yang diambil makna kata-katanya, diteliti
urutannya, nasehat yang disampaikan, teliti tuntas teratur maksud tujuannya,
semua sudah diceritakan, semua sudah dikumpulkan, baik buruknya perbuatan,
pengetahuan maupun ilmu lahir bathin, diuraikan buat para kawula muda.
Pupuh
722, Tembang ke 55 (Asmaradana): Titi tamat ingkang tulis, telas ingkang
cinarita, Seh Mongraga lalakone, kongsi amadeg narendra, kendhang tekeng
pralaya, kran Sunan Tegalarum, pisah sumarenira.
Artinya:
Sudah tamat tulisannya, selesai ceritanya, riwayat Seh Amongraga, sampai
menjadi raja, terusir meninggalnya, diberi nama Sunan Tegalarum, terpisah
makamnya.
Dari
tembang pembukaan dan penutup, maksud dan tujuan penulisan Serat Centhini
adalah untuk melestarikan Budaya atau Pengetahuan Jawa agar bisa jadi pelajaran
buat generasi muda. Tapi sungguh disayangkan generasi muda saat ini tidak
banyak yang tertarik untuk membaca karya sastra adiluhung ini, justru para
peneliti asing yang tertarik mempelajari Serat Centhini.
Serat
Centhini juga mengandung hal-hal yang kontroversi dibandingkan nilai-nilai
Budaya Jawa (Indonesia) yang berlaku saat ini, yaitu:
1.
Kandungan cerita tentang seksualitas: Walaupun Serat Centhini bercerita tentang
perjalanan para santri, dalam mengungkap masalah seksualitas (bisa dikatakan
beraliran “naturalis”) secara detil dan blak-blakan. Termasuk perilaku seks
yang menyimpang yang memang hidup dalam masyarakat pada saat itu maupun ilmu
yang berkaitan dengan seksualitas.
2.
Persaingan antara Budaya Kraton dan Budaya Pesantren: Setelah Sunan Giri
dijatuhkan oleh Sultan Agung, budaya kraton dan budaya pesantren mengalami
perkembangan yang terpisah.
Ulama
Islam saat itu ada yang bersikap akomodatif terhadap kerajaan dengan menjadi
ulama dikalangan kraton. Ada juga yang mengambil sikap independen atau tidak
mau tunduk dengan aturan kerajaan dengan mengembangkan budaya pesantren yang
tertutup pada kalangan mereka sendiri tapi tidak menunjukkan perlawanan
terhadap kerajaan.
Serat
Centini adalah cerita tentang para santri dari sudut pandang kerajaan (kraton).
Seh Amongraga dan istri, setelah susah payah menimba ilmu agama Islam dan
mencapai kesempurnaannya, pada akhir cerita tertarik untuk menjadi raja.
Seolah-olah
ingin mengatakan bahwa kekuasaan sebagai raja lebih bernilai dibandingkan
dengan kesempurnaan ilmu agama. Kalau cerita ini hanya karangan maka makna
sebenarnya dari penulisan Serat Centhin adalah ingin menegaskan dominasi
kerajaan terhadap para ulama agama Islam. Akhirnya para ulamapun pada titik
kesempurnaan agama masih tertarik pada kekuasaan untuk menjadi raja.
Refleksi
ini masih tergambar pada masyarakat Indonesia saat ini yaitu sikap ketertarikan
para ulama (atau partai berhaluan Islam) untuk ikut partisipasi dalam kekuasaan
negara.
3.
Penekanan pada ilmu tasauf: Penekanan ajaran agama Islam di Serat Centhini
adalah limu tasauf yaitu suatu sikap berserah diri secara total kepada kehendak
Allah SWT melalui tahapan pendalaman ilmu syariat, tarekat, hakekat, makrifat.
Ini adalah ajaran agama Islam di Jawa berdasarkan warisan ajaran walisanga.
Pengetahuan spriritual Jawa seperti Sastra Jendra Hadiningrat, sudah ada sejak
sebelum kedatangan agama Islam. Ilmu tasauf dalam agama Islam menemukan
kemiripan dengan pengetahuan sprituil Jawa yang sudah ada, oleh karena itu
keduanya bertemu dalam sinkretisasi agama Islam di Jawa.
Hal
ini adalah kontroversi dengan apa yang umumnya diajarkan oleh ulama agama Islam
di Indonesia saat ini yang sangat fokus pada ajaran syariat (bisa terhenti pada
rutinitas ceremonial) yang malahan berakibat merosotnya nilai-nilai moral
masyarakat pada umumnya
Sumber: seratcenthini.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar