by Jayeng
Resmi
Serat Centhini adalah buku kesusastraan Jawa yang aslinya
ditulis dalam bahasa dan tulisan Jawa dalam bentuk tembang Macapat
(Note:
tembang Macapat adalah sejumlah tembang Jawa dengan irama tertentu, jumlah suku
kata tertentu, akhir kata tertentu dalam satu bait tembang dan sangat popular
untuk refleksi peristiwa tertentu menggunakan tembang yang pas dengan suasana
yang ingin ditimbulkan, sejumlah nama tembang Macapat: Maskumambang, Mijil,
Sinom, Kinanti, Asmaradana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Pocung,
Megatruh, Jurumedung, Wirangrong, Balabak, Girisa) dan selesai ditulis pada
tahun tahun 1814.
Buku
aslinya berjudul Serat Suluk Tambangraras dan ditulis berkat prakasa KGPA Anom
Amengkunagoro III putera Pakubuwono IV, raja Surakarta (1788 – 1820), yang
kemudian menggantikan raja sebagai Pakubuwono V (1820 – 1823). Sedangkan
penulisan dan penyusunan dilaksanakan oleh:
1.
Ki Ng. Ranggasutrasna, pujangga kerajaan
2.
R. Ng. Yasadipura II, pujangga kerajaan
3.
R. Ng. Sastradipura, juru tulis kerajaan
4.
Pangeran Jungut Manduraja, pejabat kerajaan dari Klaten
5.
Kyai Kasan Besari, Ulama Agung dari Panaraga
6.
Kyai Mohammad, Ulama Agung kraton Surakarta.
Buku
aslinya saat ini masih ada di Sanapustaka di kraton Surakarta. Ada beberapa
salinannya di Reksapustaka Mangkunegaran, Paheman Radya-Pustaka Sriwedari,
Museum Sana Budaya di Yogyakarta dan Museum Gajah di Jakarta dan mungkin juga
di tempat-tempat lain.
Buku
ini terdiri dari 12 (duabelas) jilid dengan seluruhnya berjumlah 3500 halaman.
Berisi semacam “Ensiklopedia Kebudayaan Jawa” karena berisi hampir semua
tata-cara, adat istiadat, legenda, cerita dan ilmu-ilmu lahir bathin yang
beredar dikalangan masyarakat Jawa pada periode abad ke 16-17 dan masih banyak
yang hidup dan lestari sampai dengan saat ini.
Sumber
tulisan saya ini adalah Serat Centhini yang sudah ditranskripsi dari tulisan
Jawa menjadi tulisan Latin tapi masih menggunakan bahasa Jawa.Transkripsi ini
juga terdiri dari 12 (dua belas) jilid. Transkripsi dari tulisan Jawa menjadi
tulisan Latin dilakukan oleh Kamajaya, Ketua Yayasan Centhini, Yogyakarta,
diterbitkan oleh Yayasan Centhini, 1991. Referensi juga diambil dari buku
Pustaka Centhini – Ichtisar Seluruh Isinya karangan Ki Sumidi Adisasmita,
Penerbit UP Indonesia, Yogyakarta, tahun 1975.
Sampai
saat ini belum ada terjemahan Serat Centhini ke bahasa Indonesia. Pernah dicoba
oleh Yayasan Centini, tapi terhenti hanya sampai jilid 1. Kemungkinan ada
kesulitan pembiayaan, mungkin juga faktor waktu dan tingkat kesulitan
tersendiri.
Kandungan
isi dari Serat Centhini adalah sangat luar biasa yang mencakup banyak sisi dari
kebudayaan Jawa. Pokok ceritanya adalah kisah pelarian dari dua putra, dan satu
putri dari Sunan Giri III (Giri Parapen) ketika ditaklukkan oleh Sultan Agung
dari Mataram pada tahun 1636. Putra pertamanya bernama Jayengresmi diiringi dua
santri Gathak dan Gathuk. Berpisah dengan dua adiknya, Jayengsari dan Niken
Rancangkapti, diiringi oleh santri Buras.
Kisah
perjalanan melarikan diri dari kejaran prajurit Sultan Agung ini yang direkam
dalam cerita perjalanan dengan menemukan banyak peristiwa pertemuan dengan
berbagai tokoh di seluruh Jawa yang menceritakan berbagai cerita, legenda, adat
istiadat dan berbagai ilmu lahir dan bathin.
Kisah
ini juga diisi dengan kisah perjalanan Mas Cebolang seorang santri yang
nantinya akan menjadi suami Niken Rancangkapti dan berganti nama jadi Sech
Agungrimang. Sebagai anak-anak Sunan Giri Parapen yang adalah tokoh terkemuka
penyebaran agama Islam di Jawa, sudah barang tentu kisah perjalanannya juga
dalam rangka mencari kesempurnaan hidup sebagai seorang Muslim. Harus diingat
bahwa Islam yang berkembang di Jawa adalah Islam Jawa yang sudah melalui proses
sinkretisasi yang lebih cenderung pada tasauf dalam pencarian hakekat untuk
pencapain makrifat.
Serat
Centhini mendapat pujian dari Denys Lombart – orientalis asal Perancis –
pengarang buku Le Carrefour Javanais dalam bahasa Perancis yang diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia dengan judul Nusa Jawa Silang Budaya, mengatakan dalam
bukunya sebagai berikut:
Walaupun
teks itu sering dianggap salah satu karya agung kesusastraan Jawa, baru
sebagian saja yang sudah di terbitkan dan meskipun Serat Centhini mungkin bisa
merupakan salah satu karya agung kesusatran dunia, untuk sementara yang
terdapat hanyalah sebuah ichtisar pendek dalam bahasa Belanda dan satu lagi
dalam bahasa Indonesia.
Salah
satu versi yang masih tersimpan, tidak kurang dari 722 pupuh panjangnya,
terbagai atas dua belas bagian besar (Note: duabelas jilid). Setiap pupuh
terdiri dari bait-bait yang jumlahnya tidak tetap, antara 20 dan 70 buah,
semuanya disusun menurut tembang tertentu (Note: Macapat), yang memberikan
kepada pupuh itu baik konsistensinya maupun warna nadanya. Tergantung dari
tembangnya, bait dapat terdiri dari 4 sampai 9 larik, dan setiap larik
mengandung sejumlah tertentu kaki matra dan rima tertentu. Belum ada yang
menghitung jumlah bait dalam Serat Centhini, tetapi seperti diihat, jika setiap
pupuh mengandung rata-rata 40 bait dan setiap bait 7 larik, maka diperoleh
200.000 larik lebih. Hendaknya diingat bahwa wiracerita-wiracerita Yunani
karangan Homeros: Iliad dan Odyssey masing-masing hanya mengandung 15,537 dan
12.363 larik.
Komentar
tersebut diatas menandakan bahwa Serat Centhini adalah salah satu hasil
kesusastraan Jawa yang tak ternilai harganya. Bisa diakui sebagai salah satu
kesusastraan klasik dunia. Tapi sangat sungguh ironis, buku yang menarik para
budayawan dunia untuk mendalaminya, tidak begitu dikenal oleh bangsanya
sendiri. Ringkasan yang akan saya buat setiap jilid satu sesi (artikel) ini
adalah salah satu usaha untuk memperkenalkan Serat Centhini kepada masyarakat
bangsa Indonesia
Sumber: seratcenthini.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar