Sabtu, 24 September 2011

Ringkasan Serat Centhini – Pendahuluan


 by Jayeng Resmi
Serat Centhini - Tambangraras - AmongragaSerat Centhini adalah buku kesusastraan Jawa yang aslinya ditulis dalam bahasa dan tulisan Jawa dalam bentuk tembang Macapat
(Note: tembang Macapat adalah sejumlah tembang Jawa dengan irama tertentu, jumlah suku kata tertentu, akhir kata tertentu dalam satu bait tembang dan sangat popular untuk refleksi peristiwa tertentu menggunakan tembang yang pas dengan suasana yang ingin ditimbulkan, sejumlah nama tembang Macapat: Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanti, Asmaradana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Pocung, Megatruh, Jurumedung, Wirangrong, Balabak, Girisa) dan selesai ditulis pada tahun tahun 1814.
Buku aslinya berjudul Serat Suluk Tambangraras dan ditulis berkat prakasa KGPA Anom Amengkunagoro III putera Pakubuwono IV, raja Surakarta (1788 – 1820), yang kemudian menggantikan raja sebagai Pakubuwono V (1820 – 1823). Sedangkan penulisan dan penyusunan dilaksanakan oleh:
1. Ki Ng. Ranggasutrasna, pujangga kerajaan
2. R. Ng. Yasadipura II, pujangga kerajaan
3. R. Ng. Sastradipura, juru tulis kerajaan
4. Pangeran Jungut Manduraja, pejabat kerajaan dari Klaten
5. Kyai Kasan Besari, Ulama Agung dari Panaraga
6. Kyai Mohammad, Ulama Agung kraton Surakarta.
Buku aslinya saat ini masih ada di Sanapustaka di kraton Surakarta. Ada beberapa salinannya di Reksapustaka Mangkunegaran, Paheman Radya-Pustaka Sriwedari, Museum Sana Budaya di Yogyakarta dan Museum Gajah di Jakarta dan mungkin juga di tempat-tempat lain.
Buku ini terdiri dari 12 (duabelas) jilid dengan seluruhnya berjumlah 3500 halaman. Berisi semacam “Ensiklopedia Kebudayaan Jawa” karena berisi hampir semua tata-cara, adat istiadat, legenda, cerita dan ilmu-ilmu lahir bathin yang beredar dikalangan masyarakat Jawa pada periode abad ke 16-17 dan masih banyak yang hidup dan lestari sampai dengan saat ini.
Sumber tulisan saya ini adalah Serat Centhini yang sudah ditranskripsi dari tulisan Jawa menjadi tulisan Latin tapi masih menggunakan bahasa Jawa.Transkripsi ini juga terdiri dari 12 (dua belas) jilid. Transkripsi dari tulisan Jawa menjadi tulisan Latin dilakukan oleh Kamajaya, Ketua Yayasan Centhini, Yogyakarta, diterbitkan oleh Yayasan Centhini, 1991. Referensi juga diambil dari buku Pustaka Centhini – Ichtisar Seluruh Isinya karangan Ki Sumidi Adisasmita, Penerbit UP Indonesia, Yogyakarta, tahun 1975.
Sampai saat ini belum ada terjemahan Serat Centhini ke bahasa Indonesia. Pernah dicoba oleh Yayasan Centini, tapi terhenti hanya sampai jilid 1. Kemungkinan ada kesulitan pembiayaan, mungkin juga faktor waktu dan tingkat kesulitan tersendiri.
Kandungan isi dari Serat Centhini adalah sangat luar biasa yang mencakup banyak sisi dari kebudayaan Jawa. Pokok ceritanya adalah kisah pelarian dari dua putra, dan satu putri dari Sunan Giri III (Giri Parapen) ketika ditaklukkan oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1636. Putra pertamanya bernama Jayengresmi diiringi dua santri Gathak dan Gathuk. Berpisah dengan dua adiknya, Jayengsari dan Niken Rancangkapti, diiringi oleh santri Buras.
Kisah perjalanan melarikan diri dari kejaran prajurit Sultan Agung ini yang direkam dalam cerita perjalanan dengan menemukan banyak peristiwa pertemuan dengan berbagai tokoh di seluruh Jawa yang menceritakan berbagai cerita, legenda, adat istiadat dan berbagai ilmu lahir dan bathin.
Kisah ini juga diisi dengan kisah perjalanan Mas Cebolang seorang santri yang nantinya akan menjadi suami Niken Rancangkapti dan berganti nama jadi Sech Agungrimang. Sebagai anak-anak Sunan Giri Parapen yang adalah tokoh terkemuka penyebaran agama Islam di Jawa, sudah barang tentu kisah perjalanannya juga dalam rangka mencari kesempurnaan hidup sebagai seorang Muslim. Harus diingat bahwa Islam yang berkembang di Jawa adalah Islam Jawa yang sudah melalui proses sinkretisasi yang lebih cenderung pada tasauf dalam pencarian hakekat untuk pencapain makrifat.
Serat Centhini mendapat pujian dari Denys Lombart – orientalis asal Perancis – pengarang buku Le Carrefour Javanais dalam bahasa Perancis yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Nusa Jawa Silang Budaya, mengatakan dalam bukunya sebagai berikut:
Walaupun teks itu sering dianggap salah satu karya agung kesusastraan Jawa, baru sebagian saja yang sudah di terbitkan dan meskipun Serat Centhini mungkin bisa merupakan salah satu karya agung kesusatran dunia, untuk sementara yang terdapat hanyalah sebuah ichtisar pendek dalam bahasa Belanda dan satu lagi dalam bahasa Indonesia.
Salah satu versi yang masih tersimpan, tidak kurang dari 722 pupuh panjangnya, terbagai atas dua belas bagian besar (Note: duabelas jilid). Setiap pupuh terdiri dari bait-bait yang jumlahnya tidak tetap, antara 20 dan 70 buah, semuanya disusun menurut tembang tertentu (Note: Macapat), yang memberikan kepada pupuh itu baik konsistensinya maupun warna nadanya. Tergantung dari tembangnya, bait dapat terdiri dari 4 sampai 9 larik, dan setiap larik mengandung sejumlah tertentu kaki matra dan rima tertentu. Belum ada yang menghitung jumlah bait dalam Serat Centhini, tetapi seperti diihat, jika setiap pupuh mengandung rata-rata 40 bait dan setiap bait 7 larik, maka diperoleh 200.000 larik lebih. Hendaknya diingat bahwa wiracerita-wiracerita Yunani karangan Homeros: Iliad dan Odyssey masing-masing hanya mengandung 15,537 dan 12.363 larik.
Komentar tersebut diatas menandakan bahwa Serat Centhini adalah salah satu hasil kesusastraan Jawa yang tak ternilai harganya. Bisa diakui sebagai salah satu kesusastraan klasik dunia. Tapi sangat sungguh ironis, buku yang menarik para budayawan dunia untuk mendalaminya, tidak begitu dikenal oleh bangsanya sendiri. Ringkasan yang akan saya buat setiap jilid satu sesi (artikel) ini adalah salah satu usaha untuk memperkenalkan Serat Centhini kepada masyarakat bangsa Indonesia

Sumber: seratcenthini.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar